Untuk membahas perkembangan komuniksai massa di Indonesia akan dibahas berdasarkan pengkategorian media seperti media cetak, Radio, Televisi dan Film. Selain itu akan dimasukan juga pengaruh teknologi informasi dalam keseluruhan perkembangan komunikasi massa di Indonesia.
1) Sejarah perkembangan media cetak (Pers) di Indonesia
Di Indonesia media cetak awalnya dikenal dengan nama “Pers” dan muncul pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744. Saat itu sebuah surat kabar bernama ‘Bataviasche Nouvelles’ diterbitkan dengan pengusahaan orang-orang Belanda. Pada tahun 1776 terbit di Jakarta ‘Vendu Niews’ yang mengutamakan diri pada berita pelelangan.
Ketika menginjak abad 19 terbit berbagai surat kabar lainnya yang diusahakan orang-orang Belanda untuk pembaca orang-orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda yang pada umumnya hanya kelompok kecil saja. Surat kabar Belanda ini jelas membawa suara pemerintah kolonial Belanda untuk tiap pesannya.
Surat kabar pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai tahun 1854 ketika Majalah ‘Bianglala’ diterbitkan, disusul oleh ‘Bromartani’ pada tahun 1885, kedua-duanya diterbitkan di Weltervreden dan pada tahun 1856 ‘Soerat Kabar Bahasa Melajoe’ di Surabaya.
Sejak itu bermunculan berbagai surat kabar dengan pemberitaannya bersifat informatif, sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan itu. Hal itu selaras dengan nama yang disandang yang kebanyakan menggunakan cahaya atau sinar atau nama lain yang memancarkan cahaya, seperti Tjahaja Siang; Tjahaja India; Tjahaja Moelia; Sinar Terang; Bintang Timoer; Bintang Barat; Bintang Djohar; Bintang Betawi; Matahari dan lain-lain.
Diakui banyak pers berkembang di pulau Jawa, ini dapat dimengerti, karena percetakan sebagai sarana yang sangat vital, fasilitas-fasilitas lainnya, juga khalayak yang merek huruf kebanyakan berada di pulau ini. Perkembangan pers di sumatera ketinggalan kurang lebih 30 tahun. Di Padang tahun 1882 muncul untuk pertama kalinya ‘Pelita Kecil’ dan kemudian ‘Partja Barat’ pada tahun 1892 yang kesemuanya diterbitkan orang asing.
Sejarah pers abad 20 ditandai dengan munculnya Koran pertama milik Bangsa Indonesia. Modal dari bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia, yakni ‘Medan Prijaji’ yang terbit di Bandung. Medan Prijaji dimiliki dan dikelolah oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono, yakni tahun 1907 berbentuk mingguan, kemudian pada tahun 1910 diubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik moden di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain-lain.
Setelah Boedi Oetomo lahir, kemudian diikuti gerakan lainnya, baik berasaskan kebangsaan maupun berdasarkan keagamaan. Jumlah surat kabar yang dikelolah bangsa Indonesia semakin bertambah. Karena organisasi kebangsaan dan keagamaan menyadari untuk menyebarluaskan misinya diperlukan media massa, yang pada waktu itu hanya surat kabarlah yang dapat dipergunakan.
Timbul ‘Darmo Kondo’ yang semula diterbitkan dua minggu, kemudian menjadi harian. Setelah mengalami pasang surut, harian ini menjelang pecah perang pasifik, menjadi surat kabar berbahasa Indonesia pertama dengan nama ‘Pewarta Oemoem’ dan menjadi pembaca suara Partai Indonesia Raya (Parindra). Tahun berikutnya terbit ‘Sarotama’ (Serikat Islam), ‘Penggugah’ (Organ National Indische Partij) dan lain sebagainya.
Pers Indonesia masa penjajahan ini juga melahirkan tokoh jurnalistik yang juga dianggap sebagai Pahlawan yang berjuang lewat tulisannya. Seperti Dr.Abdoel Rivai yang dijuluki Bapak Jurnalistik Indonesia oleh Adinegoro.
Pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan RI, pers mengalami kebebasan sepenuhnya. Ini dapat dimengerti karena baik pemerintah maupun pers sendiri belum sampai pada pemikiran mengenai kebebasan pers. Pada tahun 1945 itu di Jakarta terbit adalah ‘Asia Raya’ yang memang diterbitkan pada zaman Jepang. Baru pada tanggal 1 Oktober 1945 terbit Harian Merdeka sebagai hasil usaha kaum buruh de unie yang berhasil menguasai percetakan.
Di kota lain muncul korang-koran baru. Di Yogyakarta terbit Kedaulatan Rakyat (bekas sinar matahari), di Bandung Soeara Merdeka (bekas Tjahaja). Di Surabaya Suara Rakyat (bekas Suara Asia), dan di Semarang Warta Indonesia (bekas sinar baru).
Sejak tahun 1950 Partai Politik yang besar mempunyai surat kabar sebagai pembawa suara masing-masing. Masjumi mempunyai harian Abadi. PNI memiliki Suluh Indonesia. Partai Nahdatul Ulama diwakili oleh Duta Masyarakat. PKI terompetnya Harian Rakyat, sedang yang menjadi pembawa suara Partai Sosialis Indonesia adalah Harian Pedoman.
Di massa 1955-1958 pers Indonesia belum mengalami pertarungan untuk kebebasan pers. Tapi setelah tanggal 1 Oktober 1958, semuanya berubah. Tanggal tersebut dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuat pihak penguasa memperketat pengawasan terhadap pers. Persyaratan untuk mendapatkan Surat Izin Terbit (SIT) diperketat. Semua penerbitan di tahun 1960 diwajibkan lagi untuk mengajukan permohonan SIT. Pada bawah formulir SIT tercantum 19 pasal persyaratan yang mengandung janji penanggungjawab surat kabar, bahwa ia akan mendukung Manipol Usdek dan akan mematuhi pedoman yang dikeluarkan penguasa.
Lebih parah lagi dimasa itu pers dihadapkan dengan aturan yang aneh yakni harus berafiliasi dengan Parpol sehingga ruang gerak wartawan menjadi terbatas dan dipersempit. Akibat aturan ini ruang gerak wartawan pada masa itu dipersempit dan keterampilan dikekang serta daya pikir ditekan. PKI zaman itu memiliki kekuasaan yang menggiatkan wartawan pada ‘ofensif revolusioner di segala bidang’.
Setelah G30S PKI berhasil ditumpas, politik pun berubah dengan sendirinya jurnalistik pun berubah. Akibat punahnya orde lama hadirlah orde baru, hilang pula Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti dan surat kabar komunis lainnya. Muncullah harian KAMI, API, Tri Sakti dan lainnya yang diterbitkan mahasiswa. Pers Indonesia kembali menghirup udara bebas, dengan kehadiran Undang-Undang Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966. Namun kebebasan yang diutarakan sebenarnya terkekang dibawah aturan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Masyarakat Indonesia tidak menyadari dan bahkan mungkin insan pers pun tidak menyadari kalau sebenarnya mereka diberi kebebasan semu. Pers berada di bawah ketiak pemerintah. Pada umumnya pers terkooptasi oleh penguasa. Tidak heran ada julukan GPK, ekstreem kanan, ekstreem kiri dan lain sebagainya. Seperti di banyak negera pers kita dimanfaatkan oleh penguasa. Pers berperan penting dalam pembentukan, mobilisasi dan pemeliharaan konflik antarkelompok. Peliputan berita mencerminkan distribusi kekuasaan. Pers hanya berperan sebagai corong pemerintah di masa orde baru karena takut ancaman dibredel. Sehingga saat itu dari studi pers Indonesia hanya berani menampilkan realitas psikologis sebagai hasil wawancara pandangan atau pendapat orang dan bukannya realitas sosiologis sebagai fakta dari lapangan.
Setelah tahun 1998 atau paska reformasi pers sepertinya mendapat angin segar yang membuat semangat mereka tumpah ruah. Dewan Pers mencatat lebih dari 1.000 media cetak bangkrut sejak tahun itu. SIUPP Pra-Presiden Habibie sebanyak 282 lembar. Di masa Habibie SIUPP naik menjadi 1.675. Pada Masa Gus Dur dan Megawati tanpa SIUPP.
Dan selanjutnya Dewan Pers mencatat tahun 2001 terdapat 2.003 penerbitan. Sedangkan pada tahun 2002 dalam direktori pers Indonesia tercatat hanya tertinggal 695 penerbitan. Entah berapa jumlahnya saat ini, namun yang pasti Pers Indonesia masih harus berjuang untuk tetap hidup dan sampai ke tangan khalayak pembacanya.
2. Radio Siaran di Indonesia
Meski berada dalam masa penjajahan Radio kita berkembang dengan baik bila dibandingkan dengan Radio Siaran di Amerika Serikat dan Inggris.
§ Zaman penjajahan Belanda
Radio siaran pertama di Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda adalah Bataviase Radio Vereniging (BRV) di Batavia (Jakarta tempo dulu). BRV resminya didirikan pada 16 Juni 1925, jadi lima tahun setelah Amerika Serikat dan tiga tahun setelah Inggris dan Uni Soviet.
Radio siaran di Indonesia semasa penjajahan Belanda dahulu mempunyai status swasta. Karena sejak adanya BRV maka munculnya radio siaran lainnya Nederlandsch Indische Radio Omroep Mij (NIROM) di Jakarta, Bandung dan Medan, Solosche Radio Vereniging (SRV) di Surakarta. Maratamse Vereniging voor Oosterse Radio Omroep (MAVRO) di Yogyakarta. Vereniging voor Oosterse Radio Luisteraars (VORL) di Bandung. Vereniging voor Oosterse Radio Omroep (VORO) di Surakarta. Chineese en Inheemse radio luisteraars Vereniging Oost Java (CIRVO) di Surabaya. Eerste Madiunse Radio Omroep (EMRO) di Madiun. Radio Semarang dan lain-lain.
Di Medan selain NIROM ada juga radio swasta Meyers Omroep Voor Alien (MOVA) yang diusahakan oleh tuan-tuan Meyers, dan Algeemene vereniging Radio Omroep Medan (AVROM). Namun NIROM adalah radio yang berkembang pesat karena memiliki dukungan pemerintah Belanda. Mereka mendapat keuntungan dari pajak radio. Semakin banyak pesawat radio di masyarakat, semakin banyak uang yang diterima NIROM. NIROM meningkatkan daya pancar, mengadakan stasiun relay, mengadakan sambungan telepon khusus degan kota-kota besar lainnya.
Pada waktu itu terdapat saluran telepon khusus antara Batavia, Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Solo, Yogya, Magelang, Surabaya dan Malang. Dengan demikian NIROM pada masa itu mendapat siaran langsungd ari kota-kota yang terdapat saluran teleponnya.
Namun perkembangan NIROM ini berbeda dengan Radio Swasta terutama yang diusahakan bangsa pribumi, yang hidupnya dari iuran anggota. Munculnya perkumpulan radio siaran di kalangan bangsa Indonesia disebabkan kenyataan bahwa NIROM yang mendapat bantuan dari pemerintah Hindia Belanda itu lebih bersifat perusahan mencari keuntungan financial.
Sejak tahun 1933 dengan hadirnya SRV di Surakarta, berdirilah badan radio siaran lainnya usaha bangsa Indonesia di berbagai kota besar seperti yang disebutkan di awal. Pada tahun 1936-1937 NIROM mengalami kemunduran karena ancaman pencabutan subsidi.
Pada tanggal 29 maret 1937 atas usaha anggota Volksraad M.Sutarjo Kartohadikusumo dan seorang insinyur bernama Ir.Sarsito Mangkusumo diselenggarakan pertemuan antara wakil-wakil radio ketimuran di Bandung. Wakil yang mengirim utusannya ialah VORO (Jakarta), VORL (Bandung), MAVRO (Yogyakarta), SRV (solo) dan CIRVO (Surabaya). Dan pertemuan itu melahirkan badan baru bernama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) dan sebagai ketua adalah Sutardjo Kartohadikusumo.
PPRK bersifat non-komersial itu bersifat “social cultureel” semata-mata memajukan kesenian dan kebudayaan nasional guna kemajuan masyarakat Indonesia, rohani dan jasmani. Pada tanggal 7 Mei 1973 atas usaha PPRK diadakan pertemuan dengan pembesar pemerinah untuk membicarakan hubungan PPRK dengan NIROM. Pertemuan itu menghasilkan suatu persetujuan bersama, bahwa PPRK menyelenggarakan siaran ketimuran, NIROM mengelenggarakan segi tekniknya. Pada tanggal 1 November 1940 tercapailah tujuan PPRK yakni menyelenggarakan siaran yang pertama dari PPRK.
§ Zaman Jepang
Dalam peperangan di Asia dan Pasifik, Jepang sebagai sekutu Nazi Jerman dan Italia di Eropa, mengadakan ekspansi ke arah selatan. Pada bulan Maret 2042 Belanda menyerah kepada Jepang; tepat tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Belanda dengan seluruh angkatan perangnya yang menyerah kalah di Bandung kepada balatentara Jepang.
Sejak tanggal itu di bekas kawasan Hindia Belanda duu berlaku pemerintahan militer Jepang atas nama resminya Dai Nippon. Sebagai konsekuensinya, segala menurut kehendak tentara kependudukan. Demikian pula radio siaran yang tadinya berstatus perkumpulan swasta dimatikan dan diurus oleh jawatan khusus bernama Horo Kann Kyoku, yang merupakan pusat radio siaran dan berkedudukan di Jakarta. Cabang-cabangnya yang dinamakan Hoso Kyoku terdapat di Bandung, Purwokerto, Yogya, Surakarta, Semarang, Surabaya dan Malang.
Di samping stasiun siaran tadi, setiap Hoso Kyoku mempunyai cabang kantor bernama Shondanso yang terdapat di Kabupaten-kabupaten. Kantor ini mempersatukan semua bengkel atau service radio setempat. Semua operasi pesawat di bawah kendali balatentara Jepang dan semua siaran luar negeri tidak dapat di dengarkan kecuali Hoso Kyoku di Jawa.
§ Zaman kemerdekaan
Tanggal 14 Agustus 1945 terdengar kabar pemeritah jepang telah menyerah kalah tanpa syarat kepada tentara sekutu, setelah jepang mengalami serangan bom hebat di Hirosima dan Nagasaki. Seperti dikemukakan tadi, Jepang membatasi masyarakat Indonesia mendengarkan siaran radio lain selain Hoso Kyoku namun beberapa pemuda dengan resiko kehilangan jiwa secar sembunyi-sembunyi mendengar siaran luar negeri.
Saat penting itu tidak disia-siakan oleh para pemuda. Mereka mengadakan gerakan memproklamasikan Negara Indonesia merdeka pada saat Jepang tidak memiliki kekuasaan lagi. Saat yang genting dan dramatis dalam mendirikan Negara Indonesia Merdeka menjelang pendaratan tentara sekutu yang akan mengambil alih kekuasaan di Indonesia ini terjadi juga di Radio jalan Medan Merdeka Barat Jakarta.
Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia Merdeka diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Sebenarnya para pemuda ingin menyiarkan teks proklamasi itu pada saanya dibacakan oleh kedua pemimpin bangsa Indonesia itu, akan tetapi stasiun radio tadi sejak tanggal 15 agustus 1945 dijaga ketat oleh Kempetai Jepang. Baru malam harinya jam 19.00 teks proklamasi dapat disiarkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Namun hanya dapat didengar oleh penduduk sekitar Jakarta saja. Maka kemudian para pegawai teknik menyalurkan siarannya melalui siaran luar negeri yang waktu itu terletak di Bandung. Dengan demikian maka mungkin pendegar Australia lebih dahulu mendengar daripada bangsa Indonesia di luar Jakarta, bahwa bangsa Indonesia telah merdeka tanggal 17 Agustus 1945.
Pada 10 September 1945 pemimpin radio dari seluruh jawa berkumpul di Jakarta dan menuntu Jepang menyerahkan seluruh perangkat radio siaran tetapi jepang beralaskan itu semua akan diserahkan kepada sekutu. Kemudian 11 September 1945 para pemimpin radio mengadakan pertemuan terakhir dan tepat jam 12.00 malam tercapai kesepakatan untuk mendirikan organisasi radio siaran dan menentukan tindakan yang akan diambil daerah. Hari tanggal 11 September 1945 itu menjadi hari RRI (Radio Republik Indonesia) yang setiap tahun diperingati. Tanggal ini diperingati sebagai hari RRI bukan radio karena hari radio jatuh pada tanggal 16 Juni 1925.
Pada oktober 1945 tentara sekutu mendarat di Indonesia dan berusaha merebut stasiun radio tapi mendapat perlawanan rakyat Indonesia. Bung Tomo menggunakan mikrofon radio pemberontak untuk membangkitkan semangat pemuda jawa timur untuk melawan Inggris. Setelah inggris pergi di Oktober 1946, selanjutnya NICA Belanda dtang ke Indonesia. Belanda merubah RRI menjadi Radio Resmi Indonesia dan bukannya Radio Republik Indonesia. Maka perang udara pun terjadi, RRI di jalan Medan Merdekan 4 dengan Radio Resmi Indonesia di Merdan Merdeka 5.
Belanda berusaha merebut kembali Indonesia namun perjuangan tidak kenal lelah, semangat merdeka membuat bangsa Indonesia tetap ingin mempertahakan kemerdekaan. Akhirnya di 27 Desember 1948 terjadi penyerahan kedaulatan dan sejak itu cal RRI menjadi Radio Republik Indonesia Serikat (RRIS) kecuali Studio Yogyakarta yang tetap memakai call station dengan Radio Republik Indonesia (RRI). Namun sejak 15 agustus 1950 Presiden Soekarno mengumumkan kembali NKRI dan sejak itu Radio siaran di Indonesia di 22 studio kembali ke call “Di Sini Radio Republik Indonesia”.
§ Zaman Orde Baru dan Reformasi
Sampai akhir 1966, RRI adalah satu-satunya Radio siaran di Indonesia yang dimiliki dan dikuasi pemerintah. Radio siaran masa orde baru berada di bawah Undang-Undang No.5 Tahun 1964 tentang telekomunikasi, namun mengenai pengaturan frekuensi pemancar diatur dengan disesuaikan dengan daftar pada International Telecommunication Union (TTU). Pemerintah juga mengeluarkan PP No.5/1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah. Radio siaran non pemerintah/swasta di Indonesia berkembang pesat dan jumlahnya pun terus meningkat.
Begitu juga setelah kehadiran reformasi yang menghasilkan regulasi yang dikatakan cukup demokratis bagi radio siaran entah itu pemerintah maupun swasta dengan hadirnya Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang menghadirkan lembaga KPI sebagai pengontrol kegiatan penyiaran di Indonesia.
3. Televisi di Indonesia
Televisi Republik Indonesia (TVRI) dimulai pada 19 Agustus 1962 dengan studio yang sederhana di kompleks senayan Jakarta. Dibandingkan dengan Negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Negara lain di Eropa, Indonesia termasuk Negara baru dalam bidang Televisi. Namun bila dibandingkan Negara Asia lain Indonesia terlebih dahulu.
Penyiaran Televisi merupakan bidang yang mahal. Ada berbagai perlengkapan dan cost produksi yang dibutuhkan. TVRI memiliki biaya yang tidak sedikit untuk berkembang, lebih lagi setelah tanggal 1 April 1981 TVRI tidak menyiarkan iklan, sehingga tidak ada uang masuk. Meskipun demikian TVRI tetap menyelenggarakan siaran jaringannya.
Sampai dengan tahun 1965 TVRI memiliki dua stasiun penyiaran dengan empat stasiun pemancar dan lima stasiun penghubung. Sejak tahun 1973 sampai dengan tahun 1978, TVRI mengembangkan diri dan mendapatkan tambahan lima buah stasiun penyiaran dengan 77 buah pemancar dan 11 stasiun penghubung. Di penghujung 1980, tercatat Sembilan buah stasiun penyiaran TVRI dengan dilengkapi 124 pemancar dan stasiun penghubung.
Perkembangan jumlah pesawat penerima siaran TV yang di tahun 1978 mencapai 1.050.000 buah dan meningkat tajam di 1980 dengan 1.500.000 buah belum ditambah yang tidak terdaftar membuat geliat pertelevisian di Indonesia semakin berkembang.
Dipenghujung decade 1980-an sampai 1990-an terjadi swastanisasi pertelevisian di Indonesia. Hadirnya stasiun TV swasta diantaranya Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang beroperasi sejak bulan April 1989 dan diresmikan 24 Agustus 1989. Setelah itu hadir Surabaya Centra Televisi (SCTV) yang beroperasi sejak Agustus 1989. Kemudian hadir Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 23 Januari 1991. Kemudian lahir lagi stasiun televise swasta lainnya seperti Indosiar, ANTV, Trans TV, Trans7, Metro TV,TVOne dan ditambah lagi TV lokal yang berkembang pesat di seluruh Indonesia.
4. Perfilman di Indonesia.
Menurut sejarah perfilman di Indonesia, film pertam di negeri ini berjudul “Lely van Java” yang diprodusir di Bandung pada tahun 1926 oleh seorang bernama David. Ini disusul oleh “Eulis Atjih” produksi Krueger Corporation pada tahun 1927/1928. Dan sampai dengan tahun 1930 masyarakat pada waktu itu telah dihidangi film-film berikutnya yaitu Lutung Kasurung, Si Conat dan Pareh. Sampai tahun itu, film yang disajikan masih merupakan film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang Belanda dan Cina.
Film bicara pertama berjudul “Terang Bulan” yang dibintangi Roekiah dan R.Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia Saerun. Di tahun 1941 pecah perang asia timur raya. Dunia film pun berubah wajah. Perusahan film seperti Wong Brothers, South Pacific dan Multi Film diambil ahli jepang, ketika pemerintah Jepang menguasai Indonesia.
NV Multi Film diambil ahli oleh pemerintah Nippon dan diganti nama menjadi Nippon Eiga Sha dibawah penguasaan Sendenbu yakni barisan propaganda Jepang. Yang diproduksi Nippon Eiga Sha adalah film berita yang diberi judul “Djawa Baharu” kemudian diganti menjadi “Nampo Hodo” lalu film documenter, film feature dan lainnya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, maka dunia perfilman pun ikut berubah. Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi pada tanggal 6 Oktober 1945 kepada Pemerintah Republik Indonesia. Maka sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia (BFI).
Pada saat revolusi BFI terpaksa memindahkan kegiatannya ke Surakarta ketika pemerintahan berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Gedung dan studio BFI diduduki NICA. Belanda juga mempergunakan studio untuk memproduksi film. Pada tahun 1950 setelah kedaulatan diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada RI maka Regeerings Film Bedrijf diserahkan kepada RIS kemudian diberi nama Perusahaan Pilem Negara (PPN) dalam lingkungan kementrian Penerangan pada waktu itu.
Kemudian munculah Perusahaan Film Nasional (Perfini) dibawah pimpinan Umar Ismail. Kemudian Persatuan Artis Film Nasional (Persari) yang dipimpin Djamaludin Malik. Kemudian diikuti dengan Surya Film Trading, Java Industrial Film, Bintang Surabaya dan lainnya. Lahir juga Dewan Film Nasional. Dan belakangan lahir penghargaan terhadap Film Nasional yang dikenal dengan Festival Film Indonesia (FFI) dan juga Festival Film Bandung.
Terimakasii
BalasHapus