1) BLT Ditinjau Dari Ciri-Ciri Berpikir Filsafat
Sebelum mengkaji lebih mendalam program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai Oase yang mendahagakan dari perspektif ciri-ciri berpikir filsafat, ada baiknya dibahas terlebih dahulu ciri-ciri berpikir filsafat itu sendiri. Hal ini penting, karena ciri-ciri berpikir filsafat akan menjadi indikator pembahasan dalam kajian ini.
Berpikir filsafat memiliki ciri-ciri tersendiri yang dapat dibedakan dengan bidang ilmu lain. Ali Mudafhir dalam Nina Syam (2010:61-62), memberikan 8 (delapan) ciri berpikir filsafat sebagai berikut:
§ Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya hingga pada hakikatnya atau substansi yang dipikirkan.
§ Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengelaman umum manusia, kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Justpers terletak pada aspek keumumannya.
§ Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstrasi pengelaman manusia, misalnya apa yang dimaksudkan dengan kebebasan itu.
§ Koheren dan konsisten (runtut), artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten itu artinya tidak mengandung kontradiksi.
§ Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
§ Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semestanya secara keseluruhan.
§ Bebas artinya sampai pada batas-batas yang luas, pemikiran filsafat bisa dikatakan sebagai hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural bahkan religius.
§ Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
Berdasarkan kedelapan ciri-ciri berpikir filsafat ini, maka penulis berpikir bahwa hal yang terpenting sebelum kita berpikir kritis dalam mengkaji sesuatu topik atau bahasan adalah dengan mengenal lebih dekat bahasan tersebut. Pengenalan itu dapat berupa sekedar mengetahui definisinya, ataukah tujuannya, komponennya atau bahkan bisa mengkritisi jika kebijakan ini tidak selaras lagi dengan tujuan mulianya.
Secara garis besar Bantuan Langsung Tunai (BLT) dapat dipahami sebagai pemberian sejumlah uang (dana tunai) kepada masyarakat miskin setelah pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM dengan jalan mengurangi subsidi namun selisih dari subsidi itu diberikan kepada masyarakat miskin.
Untuk Tulisan ini, dengan berdasarkan pada delapan ciri-ciri berpikir filsafat yakni radikal, universal, konseptual, koheren & Konsisten, sistematik, komprehensif, bebas dan bertanggung jawab dalam tulisan BLT Oase Yang Mendahagakan, penulis berusaha mengupas secara filsafati apa yang penulis pahami tentang BLT dan segala aspek yang melingkupinya namun dibatasi dalam kajian Penyaluran BLT tahun 2008.
Pada Tahun 2008 Pemerintah melanjutkan skema program pengurangan subsidi BBM dari bulan Juni sampai dengan Desember 2008 dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai tanpa syarat kepada Rumah Tangga Sasaran (unconditional cash transfer) sebesar Rp.100.000,- per bulan selama 7 bulan, dengan rincian diberikan Rp.300.000.- / 3 bln (Juni-Agustus) dan Rp.400.000.- / 4 bln (September-Desember).
BLT merupakan implementasi dari Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang pelaksanaan program bantuan langsung tunai (BLT) untuk rumah tangga sasaran (RTS) dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM. Program BLT-RTS ini dalam pelaksanaanya harus langsung menyentuh dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat miskin (yang terkategori sebagai RTS), mendorong tanggung jawab sosial bersama dan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang secara konsisten mesti benar-benar memperhatikan Rumah Tangga Sasaran yang pasti merasakan beban berat sebagai akibat dari kenaikan harga BBM.
BLT yang idealnya harus memenuhi tugas hakikinya yakni membantu masyarakat miskin dengan dasar hukum InPres No.3/2008, memiliki tujuan mulia yang digariskan secara yuridis formal di dalam Petunjuk Teknis (Juknis) Penyaluran BLT untuk RTS tahun 2008 sebagai berikut: 1) Membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya; 2) Mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi; 3) Meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.
Dengan tujuan itu, maka penerima bantuan langsung tunai adalah Rumah Tangga Sasaran sebanyak 19,1 Juta Rumah Tangga Sasaran hasil pendataan oleh BPS. yang meliputi Rumah Tangga Sangat Miskin (poorest), Rumah Tangga Miskin (poor) dan Rumah Tangga Hampir Miskin (near poor) di seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan pemberian BLT bagi 19,1 juta RTS seluruh Indonesia yang dilakukan karena pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga dasar BBM, kenaikan harga dapat mengakibatkan harga kebutuhan pokok meningkat dan bagi masyarakat miskin dapat mengakibatkan daya beli mereka semakin menurun. Penurunan ini dikarenakan mereka akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perkembangan harga di pasar. Warga masyarakat miskin akan terkena dampak sosial yakni semakin menurun taraf kesejahteraannya atau menjadi semakin miskin.
Untuk itu diperlukan program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dalam bentuk program kompensasi (compensatory program) yang sifatnya khusus (crash program) atau program jaring pengaman sosial (social safety net), seiring dengan besarnya beban subsidi BBM semakin berat dan resiko terjadinya defisit yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Selain itu, akibat selisih harga BBM dalam negeri dibanding dengan luar negeri berakibat memberi peluang peningkatan upaya penyelundupan BBM ke luar negeri. Sehingga pemerintah memandang perlu mereviu kebijakan tentang subsidi BBM, karena selama ini subsidi dinikmati juga oleh golongan masyarakat mampu yang kemudian dana itu dialihkan untuk golongan masyarakat miskin.
Dan harus diakui program ini setelah dilaksanakan memang melahirkan penilaian yang pro dan kontra terkait keberhasilannya. Ada yang berpendapat bahwa Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Sasaran bersifat charity dan menimbulkan budaya malas, ketergantungan, dan meminta-minta belas kasihan Pemerintah serta secara ekonomi mikro menumbuhkan budaya konsumtif sesaat, karena penggunaan uang tidak diarahkan oleh Pemerintah (unconditional cash transfer).
Hal ini dapat kita lihat secara gamblang ketika pemerintah mencairkan BLT kepada para penerima yang nota bene adalah masyarakat miskin. Ternyata pendapat dari kalangan kontra dengan kebijakan pemberian uang tunai ini ada benarnya. Penulis mencotohkan berdasarkan pengamatan sebagai seorang Jurnalis di Mingguan Berita Buser Timur yang terbit di Propinsi NTT.
Saat menjadi jurnalis yang bertugas meliput di wilayah Kota Kupang, Propinsi NTT terdapat kenyataan yang memiriskan hati lantaran masyarakat miskin yang akan menerima BLT menggadaikan kartu BLT mereka ke rentainer dengan pinjaman uang berbunga tinggi karena yakin kalau Pemerintah pasti memberikan uang tunai kepada mereka. Mereka lagi-lagi terjebak hutang, padahal kebijakan ini belum direalisasikan pada saat itu. Mereka jadi malas mencari jalan keluar dalam kesulitan ekonomi, dan kembali pada budaya berhutang.
Kalau sudah demikian apakah masih bisa dikatakan program ini tidak membuat masyarakat malas, harap gampang atas belas kasih pemerintah? Maka memang ada baiknya pemerintah mengkaji apakah benar memberi uang tunai itu membantu, apakah tidak sebaiknya diberikan kail dan bukan ikan? Atau dengan kata lain diciptakan lapangan pekerjaan atau modal usaha yang terkontrol oleh Pemerintah agar sisa lebih subsidi BBM bisa langgeng manfaatnya dirasakan masyarakat miskin di seluruh Indonesia. Program itu mesti mampu memenuhi kebutuhan dasar secara berkelanjutan dan mendorong masyarakat untuk mendayagunakan potensi dan sumber daya yang dimilikinya (empowering).
Pemerintah ke depan jika mau melaksanakan program sejenis BLT ini dengan asumsi bahwa untuk memberikan social protection (perlindungan sosial) bagi masyarakat miskin, berkewajiban untuk menganalisis secara saksama dan benar kebutuhan mendasar masyarakat dalam menghadapi kesulitan hidupnya terkhusus bidang ekonomi dan bukan hanya sekedar memberikan sejumlah uang yang belum tentu tepat sasar.
Sebaiknya pemerintah menciptakan program dengan efek jangka panjang seperti seperti memberikan pelatihan, kemudian dukungan modal, selanjutnya kontrol dalam jangka waktu tertentu dengan menempatkan tenaga pendamping sampai dengan masyarakat bisa bertanggung jawab sendiri mengelolah bidang usaha yang telah disediakan pemerintah. Jika pemerintah benar-benar bertanggungjawab atas nasib rakyatnya, maka pasti uang dalam jumlah besar tersebut akan tepat sasar dan tidak diselewengkan sebagaimana yang telah terjadi di negera ini dengan kasus korupsi yang tinggi sementara rakyat menderita.
2) BLT Ditinjau dari Gaya Berpikir Filsafat
Seperti pada tahap pertama dari Tulisan ini, sebelum dianalisis ada baiknya dibahas terlebih dahulu Gaya Berpikir Filsafat yang dikemukakan oleh Berthens dalam Nina Syam (2010:83-83) diantarnya:
§ Berfilsafat terkait erat dengan sastra, artinya sebuah karya filsafat dipandang memiliki nilai-nilai sastra yang tinggi. Untuk gaya ini diperlihatkan oleh beberapa filsuf yang memperoleh nobel di bidang sastra seperti Henri Bergson, Bertrand Russell, Sartre, dan Albert Camus.
§ Berfilsafat dikaitkan dengan sosial politik. Di sini filsafat sering diidentikan dengan praksis politik, artinya sebuah karya filsafat dipandang memiliki dimensi-dimensi ideologis yang relevan dengan konsep negara. Filsuf yang menjadi primadona dalam gaya ini adalah Karl Marx. Filsuf yang concern dengan masalah sosial diantaranya Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau.
§ Berfilsafat terkait erat dengan metodelogi, artinya para filsuf menaruh perhatian besar terhadap persoalan-persoalan metode ilmiah sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes dan Karl Popper.
§ Berfilsafat terkait erat dengan kegiatan analisis bahasa. Kelompok ini dinamakan Mazhab analitika bahasa dengan tokohnya G. Moore, Betrand Russell, Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle dan John Langshaw Austin. Kelompok ini berfilsafat dengan menekankan aktivitas analisis bahasa yang dikenal dengan logosentrisme. Tokoh terkenalnya Wittgenstein yang menyatakan bahwa filsafat secara keseluruhan merupakan kritik bahasa.
§ Berfilsafat terkait dengan menghidupkan kembali gaya pemikiran filsafat di masa lampau. Gaya ini mengacu pada penguasaan sejarah filsafat. Mempelajari filsafat yang dipandang baik adalah dengan mengkaji teks-teks filosofis dari para filsuf terdahulu.
§ Berfilsafat terkait erat dengan filsafat tingkah laku atau etika. Etika dipandang sebagai satu-satunya kegiatan filsafat yang paling nyata, sehingga dinamakan juga prasiologis, bidang ilu praktis.
Keenam gaya pemikiran ini jika dikaitkan dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dijalankan pemerintah dalam rangka membantu rakyat miskin sebagai dampak dari kenaikan harga BBM. Pemerintah mengurangi subsidi BBM karena merasa bahwa selama ini dana subsidi itu juga diterima oleh orang kaya. Karena itu adalah tepat jika selisih subsidi itu diberikan kepada masyarakat khususnya masyarakat miskin. Dan memang program itu benar-benar telah dijalankan, terlepas dari hasilnya memuaskan atau tidak memuaskan semua pihak di bangsa ini.i
Ketika kebijakan BLT ini dikaji dari gaya filsafat yang terkait erat dengan sastra, maka dapat dijelaskan bahwa hal ini boleh dikatakan benar. Karena tidak dapat dipungkiri dalam menyusun program BLT ini telah melewati berbagai kajian dan analisis, setelah itu disusun rangkaian huruf dalam bentuk kata, kalimat, paragraf hingga menjadi suatu produk hukum berupa Inpres maupun Juknis dan ketentuan lainya yang mengatur seluruh kepentingan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat miskin.
Rangkaian kata-kata itu sebenarnya memiliki juga nilai sastra yang tinggi seperti sastra hukum dengan rangkaian kalimat yang indah dan membuat orang yang tidak paham hukum terpesona oleh permainan kata-katanya. Karya sastra juga bersifat menghibur, maka adalah benar ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan ini sebenarnya ingin menghibur rakyat dengan untaian janji manis yang belum tentu membuat rakyat keluar dari persoalan hidup yang sebenar, dan bahkan mungkin menjerumuskan rakyat semakin dalam ke jurang hutang tak berkesudahan.
Begitu juga ketika kebijakan BLT ini dilihat dari gaya kedua yakni sosial politik yang masih memiliki kaitan dengan gaya sebelumnya. Namun di bidang ini BLT dianggap sebagai produk politik yang belum tentu bersifat sosial. Hal ini berarti Inpres Nomor 3/2008 sebenarnya sekedar kebijakan politik yang sebenarnya memiliki tujuan mulia namun dipelintir oleh kepetingan politik. Ketika keadaannya demikian maka tidak dapat disalahkan ketika goal atau tujuan hakiki dari program ini tidak terealisasi dengan sempurna. Terjadi sejumlah penyimpangan seperti membentuk perilaku konsumtif, penyelewangan dalam validasi data RTS yang layak menerima BLT dan juga peluang kolusi ditingkat penerima dari pemerintah sampai pemerintah daerah.
Jika berbicara metodelogi, tentu saja kebijakan BLT ini telah dilakukan dengan sejumlah metode seperti analisis SWOT dan analisis komprehensif lainnya. Setelah dianalisis ditentukan metode yang tepat untuk membaca rakyat keluar dari potensi negatif atau ancaman dari kebijakan pemerintah menaikan harga BBM dengan sejumlah pembenaran versi pemerintah. Selain metode dalam menentukan substansi program BLT, metodelogi juga digunakan oleh BPS dalam menentukan siapa saja RTS Miskin yang dapat masuk kategori menerima BLT. Teknik yang digunakan BPS tentu saja menggunakan sejumlah metodelogi kependudukan yang memiliki tingkat kebenaran tertentu.
Jika dikaitkan dengan analisis bahasa, maka dapat diketahui bahwa sejak awal penyusunan program BLT, realisasi sampai monitoring dan evaluasi menggunakan analisis bahasa. Bahasa lisan maupun tulisan mesti dipahami dengan baik dan benar agar kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan dapat diimplemenasikan sehingga hakikat tujuannya dapat tercapai.
Gaya menghidupkan kembali pemikiran filsafat di masa lampau, untuk kajian penulis berpikir dalam menganalisis kebijakan BLT yang boleh dibilang tidak tepat sasar karena hanya memberikan uang perbulannya Rp.100.000,- dengan harapan akan memperingan beban masyarakat miskin dalam melawan lonjakan harga kebutuhan pokok yang selangit. Pada saat seperti ini pemikiran filsafat masa lalu yang tercatat dalam sejarah akan bisa digunakan kembali dalam menganalisis kondisi sekarang karena idealnya konsep filsafat tidak pernah mati oleh waktu.
Tingkah laku dan etika, adalah gaya filsafat yang mengedepankan perilaku yang dipandang baik dalam tatanan kehidupan. Karena itu ketika BLT diprogramkan, dicanangkan, dijalankan, dimonitoring dan dievaluasi maka pada saat ini etika mesti dikedepankan agar tingkah laku (perilaku) dari pembuat kebijakan ini tidak bertentangan dengan tujuan murninya.
Untuk program BLT ini, penulis berpikir jika tingkah laku dan etika yang dikedepankan dalam keseluruhannya maka sudah dapat dipastikan tidak akan ada penyimpangan karena ketika ada orang yang berperilaku menyimpang ia akan malu karena melanggara yang lazim sebagai kebenaran moral di tengah masyarakat. Namun di Indonesia, BLT tidak beretika lagi. Orang miskin tetap miskin, bahkan orang mampun pun berpura-pura miskin agar bisa dapat BLT. Keadilan sulit ditemukan di negara ini, namun masih ada harapan jika aparat pemerintah kembali introspeksi diri dan melakukan refleksi agar bisa membuat kebijakan dan melaksanakannya agar pantas disebut manusia.
3) Kesimpulan
Berdasarkan kedua item analisis tersebut, maka timbul pertanyaan yang boleh dijawab dan boleh juga sekedar menjadi bahan refleksi sebagai anak bangsa dan mungkin juga menikmati program BLT karena kita masih tergolong miskin. Miskin harta masih lebih baik daripada miskin harga diri yang membuat bangsa ini kian terpuruk dalam kebobrokan mental penyelenggara negara dan jauh meninggalkan filsafat politik sehingga tidak bisa lagi melihat fenomena bangsa secara falsafati.
Idealnya program pemerintah yang dikemas secara apik dan indah dalam bingkai bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang seakan menjadi oase di tengah padang kesulitan ekonomi masyarakat miskin Indonesia yang katanya semakin berkurang tetapi realitasnya kok justru bertambah. Banyak orang mengaku miskin hanya karena uang Rp.100.000,- perbulan. Orang Indonesia tidak malu lagi mengaku miskin, salah siapa?
Tentu kita yakin para pendiri bangsa ini tidak pernah bercita-cita mendirikan negara untuk disia-siakan oleh penerusnya. BLT harusnya membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat miskin yang mengalami berbagai kesulitan dalam menjalani hidup. Namun setelah program bergulir tidak ada perubahan berarti kecuali ketergantungan masyarakat miskin kepada pemerintah. Di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, ada banyak orang tinggal di jalanan. Di pelosok desa, petani tidak bisa bercocok tanam lagi karena tanahnya sudah dialihfungsikan menjadi perkebunan atau pertambangan yang menjadi milik perusahaan asing dan mereka Cuma jadi buruh kasar yang digaji secara tak pantas.
Namanya juga oase yang bisa saja nyata ataupun fatamorgana semata. Rakyat senang ketika melihat dan mendapat sejumlah uang dari pemerintah, namun apakah uang itu akan terus diberikan pemerintah? Penulis tidak yakin hal itu akan terus berlanjut, maka adalah lebih baik ketika menemukan mata air harus dibuat sumur dan ditampung dengan sistem yang modern agar tidak sia-sia menguap ke langit.
Hal ini sama dengan pemberian BLT yang tidak berbekas, rakyat terus meminta pengasihanian pemerintah. Tidak ada pertumbuhan ekonomi yang berarti buat masyarakat miskin, mereka terus miskin bahkan dilarang sakit karena berobat pun mahal meski katanya ada Jamkesmas.
Karena itu penulis menyarankan kepada pemerintah sekiranya dalam menyusun yang langsung menyentuh masyarakat, lebih bijaksana agar kebijakannya dapat tepat sasar dan bisa membawa perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh golongan kaya saja tetapi seluruh golongan masyarakat Indonesia. Penulis sarankan agar kebijakan yang pro rakyat itu hendaknya dibuat dibuat dari berpikir dengan ciri-ciri berpikir filsafat dan gaya berpikir filsafat. Tujuannya agar masyarakat tidak haus lagi ketika mendapatkan sumber air yang bisa membuat mereka bertahan hidup saat ini dan di masa yang akan datang bila itu memungkinkan.
DAFTAR BACAAN
1. Syam, Nina W.Prof.,Dr.,M.S. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media: Bandung.
2. Syam, Nina W.Prof.,Dr.,M.S. 2011. Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media: Bandung.
3. Inpres No.3 Tahun 2008 tentang tentang pelaksanaan program bantuan langsung tunai (BLT) untuk rumah tangga sasaran (RTS) dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM
4. Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Tunai Untuk Rumah Tangga Sasaran Dalam Rangka Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM Tahun, Departemen Sosial RI Tahun 2008.
5. Berbagai berita di surat kabar nasional dan lokal serta situs berita di internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar